Batik Yogyakarta kini telah menjadi salah satu simbol dan identitas batik nasional Indonesia. Awal keberadaan batik Yogyakarta sangat berhubungan dengan tradisi membatik yang tumbuh dan berkembang pada masa Kerajaan Mataram. Daerah pembatikan pertama adalah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu hanya terbatas dalam lingkungan keluarga keraton yang dikerjakan wanita-wanita pembantu raja. Dari sini tradisi membatik meluas pada keluarga keraton lainnya, yaitu istri dari para abdi dalem dan para tentara kerajaan.

Seperti halnya Kasunanan Surakarta, di Kasultanan Yogyakarta pun terdapat larangan dalam hal penggunaan motif batik tertentu. Setiap sultan bertakhta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan. Dalam Rijksblad van Djokjakarta Nomor 19 Tahun 1927, Sri Paduka Sultan HB VIII merevisi peraturan baru yang berjudul Pranatan Dalem bab namanipun pengangge keprabon ing Nagari  Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang termasuk panggangge keprabon (busana keprabon) adalah kuluk (wangkidan), dodot (kampuh), bebet prajuritan, bebet nyamping (kain panjang), celana sarta glisire (celana cindhe, beludru, sutra, katun dan gelisirnya), serta payung atau songsong. Sedangkan motif batik yang dilarang digunakan di luar lingkungan keluarga keraton adalah Parang Rusak (Parang Rusak Barong dan Parang rusak Gendreh).

Sejarah dan dinamika masyarakat sangat berpengaruh terhadap motif dan perkembangan batik suatu daerah, karena memiliki sejarah dan dinamika tersendiri, maka motif batik Yogyakarta mempunyai karakteristik yang berbeda dengan daerah lain. Berbeda dengan motif batik Solo yang lebih luwes, motif batik Yogyakarta mempunyai kesan kuat lebih tegas dan lugas.

Batik yogyakarta mempunyai ciri khas warna dasar kain yang didominasi warna putih dan hitam. Beberapa motif batik yang terkenal dari Yogyakarta antara lain motif Parang Barong, Parang Baris, Parang Centong, Purbonegoro, Keyongan, Kanigoro, Cakra Kusuma, Ceplok Manggis, Grompol dan sebagainya.

Sumber: Ensiklopedia The Heritage Of Batik - Identitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa (penulis: Primus Supriono)